วันศุกร์ที่ 5 พฤศจิกายน พ.ศ. 2553

Rahasia Keberhasilan Ikhwan



Farid Abdulkhalik adalah contoh hidup dari kegigihan dan daya tarik Ikhwan.

Di umurnya yang ke-95, dia masih anggota setia dan baru saja menyelesaikan tesis PhD akuntabilitas "hisbah" dalam sistem pemerintahan Islam.

Abdulkhalik pertama kali bertemu dengan pendiri Ikhwan, Hassan al-Banna, di tahun 1940-an. Itu adalah pertemuan yang mengubah hidupnya.

Tidak seperti dai lainnya, Al-Banna memiliki pesan yang baru dalam dakwahnya: Islam tidak hanya salat dan puasa, Islam adalah seluruh cara hidup.

Al-Banna mendirikan Ikhwan pada tahun 1928 dengan sekelompok kecil orang yang ingin menyingkirkan kontrol Inggris atas Mesir kontrol dan membersihkan semua pengaruh Barat di negerinya, dengan alasan kolonialisme telah merampok identitas Muslim bangsa mereka.

Cabang-cabang Ikhwan di seluruh negeri tumbuh pesat, dan selalu dengan berpusat di masjid, sekolah dan klub olahraga. Hanya kurang dari 10 tahun, Ikhwan sudah mempunyai kader sebanyak satu juta orang.

Lebih dari 80 tahun kemudian, gagasan Al-Bana—bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga cara hidup—telah menjadi prinsip fondasi politik Islam di seluruh dunia. Ikhwan kemudian tidak hanya fokus di negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi juga ke Barat.

Salah satu tujuan lain dari Ikhwan adalah mendirikan pemerintahan Islam di Mesir. Meskipun dinyatakan ilegal di Mesir, tapi Ikhwan tidak hanya bertahan, tetapi berkembang.

Di semua bagian, disiplin dan kohesi internal memegang peranan yang tidak kecil.
"Setiap anggota Ikhwan seperti partner di sebuah perusahaan besar, sehingga ia rela berkorban," kata juru bicara Essam el-Erian, yang telah dipenjarakan lebih dari sekali. Misalnya saja, jika seorang kepala keluarga anggota Ikhwan di penjara, maka Ikhwan segera mengkover semua kebutuhan ia dan keluarganya.

"Jika Anda menghadapi rezim polisi, Anda tidak bisa sendirian. Jika Anda ditangkap atau jika Anda disiksa, Anda akan mempunyai seseorang yang membela Anda," kata el-Erian.

Hanya sedikit keraguan bahwa kegagalan Mesir dalam mengayomi masyarakat miskin telah menguntungkan Ikhwan, yang sekarang mengelola rumah sakit dan amal. Di negara dimana politik normal telah rusak setelah hampir 60 tahun kekuasaan militer, Ikhwan tetap memiliki landasan moral yang tinggi.

"Sekarang mereka mewakili gerakan yang paling penting karena semua pelaku politik di Mesir telah menjadi sangat lemah," kata Amr al-Shoubaki, seorang ahli tentang politik Islam.

"Mereka merupakan alternatif—Islam adalah solusi, samar-samar dan realistis, namun bagi banyak orang sekarang ini, Islam adalah solusi mimpi bagi keadilan."
Inilah yang menjadi fundamental dalam keberhasilan Ikhwan untuk tetap terus bertahan dalam situasi politik Mesir yang carut-marut.

"Ikhwan memberikan identitasnya pada Islam dengan pembaharuan di banyak daerah," kata Issandr al-Amrani, analis Timur Tengah yang berbasis di Kairo. Menurut Amrani, Ikhwan bukanlah Taliban Mesir.

"Ikhwan terus diarahkan pada kemajuan sejarah—ide bahwa negara-negara Muslim harus mengejar ketinggalan terhadap Barat, tetapi melakukannya tanpa kehilangan identitas Islamnya. Mereka mengajak umat Islam ke era keemasan di abad ke-7, dan mereka. mendukung kembalinya Islam dalam kehidupan modern."

Hari ini, Mesir mendekati akhir sebuah era. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi ketika Presiden Hosni Mubarak, 82 tahun, lengser, dan pergi.

Dengan latar belakang itu, Ikhwan adalah salah satu masalah yang paling hangat diperdebatkan.

Seorang penulis naskah drama, Wahid Hamed, sangat kritis terhadap Persaudaraan. "Mereka adalah organisasi bawah tanah yang mengusung kekerasan dan memakai mantel.” Ujarnya.

Tapi Hamid mengakui bahwa Ikhwan tidak dapat diabaikan, terutama dalam situasi sekarang.

"Mesir sedang menunggu juru selamat dari tindak korupsi yang mengakar, pengangguran, masalah dengan infrastruktur, kelebihan penduduk, dan masalah lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Dan alternatif yang juga hadir kuat pada hari ini adalah Ikhwan," katanya.

(sa/alahram)

วันพุธที่ 3 พฤศจิกายน พ.ศ. 2553

Rahasia Manhaj Rabbani (1)

D. Rahasia Manhaj Rabbani

D.1. Agama dan amanah

Rasulullah saw bersabda :

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ (رواه أحمد والبيهقي)

“Tidak sempurna iman seseorang yang tidak bisa memikul amanah, tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa dipegang janjinya.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Sikap amanah dan tepat janji, adalah dua sifat yang saling berkaitan, apabila ada amanah pasti ada sikap menepati janji, jika satu sifat hilang maka hilang pula yang lain, seseorang dikatakan amanah apabila ia mampu menaepati janji dan ucapannya di hadapan orang lain, sebaliknya seseorang dikatakan menepati janji jika ia memiliki karakter amanah dalam dirinya.

Keduanya adalah sifat utama yang harus terbangun dalam kepribadian setiap muslim. Keduanya adalah sifat wajib yang punya kaitan erat dan langsung dengan keimanan muslim kepada Allah swt.

Pentingnya sifat ini dan wajibnya karakter ini bagi setiap muslim, karena Allah swt telah mewajibkan setiap hamba untuk beriman kepada-Nya dan beriman kepada hari penghitungan amal, surga dan neraka, agar hati mereka selalu dalam kondisi sadar dan yakin bahwa Allah pasti melihat dan memperhitungkan seluruh amal perbuatan mereka, apabila baik baiklah balasannya, apabila buruk amaka buruklah balasannya, sehingga hidup mereka selalu istiqamah dalam menapaki jalan yang lurus, atas dasar saling menasehati dan jauh dari sikap dhalim dan menipu.

Apabila kita menyatakan diri iman keada Allah dan rasul-Nya, yakin dengan hari akhir, lalu mengkhianati kepercayaan seseorang, menipu dan mencederai janji nya, maka sejatinya ada kontradiksi kepribadian dalam diri kita. Ketika hati kita yakin akan kebenaran iman kepada Allah, pasti kita merasa bahwa Allah menyaksikan dan membalas apa yang kita lakukan, sehingga menjadi penghalang utama bagi dosa-dosa yang mencelakakan kita.

Seseorang yang tidak membuat saudara muslimnya merasa aman dan percaya dari kata-kata yang ia dengar, hubungan yang jujur, hak dan harta yang ia percayakan keamanannya, musyawarah yang tulus, maka orang tersebut tidak jujur dalam imannya dan tidak jujur dalam memperlihatkan rasa takutnya kepada Allah swt.

Apalah artinya kita memperlihatkan keimanan kita kepada Allah, tenggelam dalam tasbih dan dzikir kepada-Nya, atau menjulangkan menara masjid ke angkasa raya, sementara hati kita kosong dari rasa khawatir dan takut akan siksa Allah yang membawa kita untuk bersikap amanah di antara kita, dan jujur dalam hubungan social.

Syariat Islam pada dasarnya membawa manusia menapaki jalan yang benar yang menjamin makna kebahagiaan bagi individu dan masyarakatnya. Betapa banyak orang yang mengambil agama ini hanya sebatas teks dan jauh dari penerapannya dalam kehidupan nyata.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana masa depan masyarakat yang tidak memiliki sikap amanah dan tepat janji.
Masa depan masyarakat seperti ini akan suram dan berantakan, krisis kepercayaan melanda semua anggota masyarakat, setiap orang tidak pernah percaya dengan kata-kata yang ia dengar, bisnis yang dijajakan dan setiap nasehat yang diterimanya.

Masa depannya adalah setiap hubungan tidak ada yang murni dan membuka jalan bagi kebaikan dunia maupun akhirat, kalaupun itu terjadi maka hanya beberapa hari saja, kemudian lahirlah pengkhianatan dan penipuan antara satu denga yang lain, berantakanlah seluruh ikatan dan hati pun membara dengan api kedengkian dan kebencian, jauh dari semangat kerjasama dan cinta antara mereka.

Tersebutlah Muhammad bin al Munkadir ra, seorang pedagang jujur, tidaklah berkeliling selama berhari-hari di pasar-pasar dan pelosok perkampungan, mencari seorang badui yang telah membeli dari karyawannya barang dagangan dengan harga yang lebih tinggi dari harga bandrolnya, demi untuk mengembalikan sisa uang yang ia dapatkan karena kesalahan harga, kecuali karena didorong oleh rasa takut kepada Allah yang mengharu biru hatinya.

Para khalifah yang adil dan yang mengikuti mereka, tidak merasa aman dalam memberikan putusan di antara manusia, keculai jika rakyatnya memiliki iman kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya, berkembanglah rasa percaya dan kejujuran di antara mereka.

Dan tidak heran jika Rasulullah saw bersabda :
“Tidak sempurna iman seseorang yang tidak bisa memikul amanah, tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa dipegang janjinya.”

Rahasia Manhaj Rabbani (2)

D.2. Lembut dalam mengambil hukum agama

Rasulullah saw bersabda :

إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ ، فَإِنَّ الْمُنْبَتَّ لاَ أَرْضًا قَطَعَ ، وَلاَ ظَهْرًا أَبْقَى (رواه أحمد والبيهقي)

“Agama ini kuat, maka masukilah dengan kelembutan, sesungguhnya orang yang macet kendaraannya, tidak ada jarak yang ia capai atau punggung yang memberikan manfaat,” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Rasulullah saw dalam hadits ini memaparkan prinsip hukum utama dalam syariat Islam, Beliau mengatakan bahwa hukum agama ini keras dan kesempurnaannya tidak terbilang, barang siapa berusaha keras untuk menerapkan semuanya, untuk mencapai kesempurnaanya secara keseluruhan, maka ia akan terputus dari jalannya dan hilanglah kekuatan untuk meraihnya, atau bahkan mendapatkan keburukan yang tidak diharapkannya.

Setiap muslim hendaknya mengambil hukum ini dengan berangsur-angsur dan bertahap, melatih dirinya agar selalu selaras dengan hukum syariat dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Rasulullah saw menggambarkan orang-orang yang tergesa-gesa memaksa meretas jalan kesempurnaan agamanya, tanpa ada kelembutan dengan kendaraan tunggangannya atau sarana yang memindahkannya, maka mereka tidak akan sampai tujuan yang mereka tuju, atau menyisakan sarana yang menyampaikan mereka kepada tujuan tersebut.

Ini adalah prinsip hukum syariat Islam pada hakikatnya adalah sebuah tarbiyah besar bagi kita, yang mengandung hikmah besar yang mana seharusnya jelas di mata umat Islam semua. Kita semua tahu bahwa beban hukum Islam itu berat di hati dan raga, maka sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk melatih hati dan raganya agar bisa berjalan bersama dan beriringan dengan hukum Allah swt, dan kita tidak dituntut oleh Islam untuk membebani diri kita dengan hukuman berat yang tidak mampu kita pikul atau sabar atasnya.

Yang dituntut dari seorang muslim adalah membina dirinya agar selalu bisa mengikuti jalan yang benar, bisa akrab dan lunak dengan jalan tersebut, dan tidak dituntut dengan kekeraasan dan penyempitan gerak yang memperdayanya. Islam tidak datang dengan kekerasan ini, Allah tidak akan membebani hamba-Nya untuk dekat kepada-Nya dengan kesulitan yang memberatkannya.

Karenanya yang diharapkan dari seorang mulim adalah pembiasaan diri terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam, tunduk secara total dengan pedoman hidup yang Islami, karena dibalik semua itu ada kebaikan dan kebahagian diri. Hal ini tidak akan terjadi jika tidak dilalui dengan penuh kesabaran dalam tahapan-tahapannya, membawa diri kedalam agama dengan satu langkah demi langkah, sehingga langkah pertama menjadi etape bagi langkah berikutnya, sehingga sebagian besar langkah saling menguatkan dan menyempurnakan kekurangan sebagian yang lain, tidak ada kekhawatiran langkah balik atau mundur karena kesulitan yang tidak mampu dipikul, lihatlah contoh baik tentang langkah kelembutan yang penuh kesabaran ini, tahapan-tahapan turunnya syariat Islam pada masa awal Islam.

Di antara umat Islam ada beberapa orang yang memberati diri mereka dengan beban tak tertahankan untuk melaksanakan kewajiban Islam dan kesempurnaannya, lalu ia tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat dengan meyepelekan syiar Islam utama. Kalau kita jeli, maka yang melatarbelakangi sikap ini adalah jiwa yang mereka belum terbiasa dengan ajaran agama Allah, tetapi mereka memaksakan ajaran itu sehingga ada kesan menyiksa diri mereka dengan ajaran tersebut. Jiwa kita sekali waktu bisa tunduk kepada hal yang berbeda dengan tabiatnya, namun cepat sekali jiwa kita akan berubah garang dengan melakukan hal yang lebih buruk dari titik awalnya yang kita anggap baik. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya : “Agama ini adalah mudah dan tidak ada yang berkeras menjalankannya kecuali akan mengalami kekalahan.”

Betapa banyak orang tua kita dan para pendidik kita yang membebani anak-anak keturunan mereka dan anak didik kewajiban Islam yang belum bisa mereka tanggung, mereka menyangka telah berhasil ketika menghujani anak-anak itu dengan cambukan ancaman dan hardikan, kemudian anak-anak itu tiba-tiba menjadi pembangkang besar yang tidak peduli dengan apapun, hubungan mereka denagan ana-anak mereka seperti yang digambarkan Rasulullah saw : orang yang macet kendaraannya, tidak ada jarak yang ia capai atau punggung yang memberikan manfaat,”
Betapa banyak kita melihat beberapa anak muda yang menghabiskan malam mereka dengan ruku dan sujud, mereka bebani diri mereka dengan beban berat sebagaimana amalan para rasul ulul azmi, namun pada akhirnya anak-anak muda tersebut berubah drastis prilakunya, mereka ringan untuk meninggalkan shalat wajib dan melakukan dosa-dosa besar yang diharamkan.

Hanya saja, tidak berarti syariat Islam menyuruh kita meremehkan kewajiban yang asasi. Antara sikap meremehkan yang tidak sesuai syarit dan sikap kaku keras yang tidak sesuai syariat ada perbedaan tegas bagi orang yang memahami tabiat Islam dan petunjuknya. Syaithan memiliki peran penting dalam proses pembiasan jalan umat Islam ini, karena itu hendaklah seorang muslim membekali diri dengan ilmu yang menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam bias ini.

Rahasia Manhaj Rabbani (3)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***
D.3. Menghina saudara bukanlah akhlak seorang muslim

Rasulullah saw bersabda :

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ (رواه مسلم )
“Adalah sebuah keburukan yang nyata, apabila seorang muslim menghina saudaranya.” (HR. Muslim)

Penggalan hadits Rasulullah saw ini berisi larangan keras bagi seorang muslim untuk menghina saudara muslim lainnya, dengan jalan apapun ia merendahkannya dan karena sebab apapun. Menghina adalah memicingkan mata dan meremehkan seseorang, orang yang hina adalah yang kecil tak bermakna, baik dilihat dari sisi fisik maupun maknanya, dengan ini kita bisa membedakan antara kritik yang disyariatkan apabila ada alasan yang mendasarinya dengan penghinaan yang tidak disyariatkan sekalipun ada alasan dan situasi yang mendukungnya.

Kritik adalah koreksi atas kesalahan sehingga terhindar darinya untuk kali kedua, adapun menghina adalah sikap merendahkan dan meremehkan pribadi pelaku kesalahan tanpa memandang kerja keras dan usaha yang dilakukan.
Apabila jelas perbedaan ini dalam pandangan kita, maka, sekalipun masih ada sebagian kita yang belum memahaminya, maka kita akan tahu hikmah Rasulullah saw melarang sifat buruk ini apapun dengan cara dan alasan apapun. Sikap menghina apapun bentuknya adalah sifat destruktif yang tidak membawa angin baik sama sekali, baik kepada pribadi yang dihina dan masyarakat di mana ia hidup, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, ia membawa bibit kebencian, pertentangan dan perpecahan. Kalau seandainya orang yang menghina itu mengharap kebaikan orang yang dihina atau masyarakatnya, maka hendaknya ia sentuh kesalahan itu bukan pribadi yang bersalah, jika ia lakukan itu maka ia akan mendapatkan buah kebaikan dari kesalahan yang terjadi dan semuanya menjadi lebih mudah dan ringan untuk diterima.

Kebanyakan orang yang suka menghina saudaranya adalah orang-orang yang suka mencari kesalahan dan kekurangannya dibanding meneliti kebaikan dan keutamaannya. Orang yang sepanjang hidupnya memilki prilaku seperti ini, selamanya tidak akan pernah memiliki rasa tertarik kepada siapapun, dan selamanya tidak akan mampu melakukan perbaikan apapun. Sunnatullah yang berlaku pada manusia, kecuali para Nabi dan Rasul, diri mereka terbangun di atas gabungan dua hal, kekurangan dan kesempurnaan. Setiap orang berbeda dan bertingkat antara satu dengan yang lain, namun kepaduan dua ha ini akan selalu menyatu dan bercokl dalam tabiat kemanusiaan mereka, dan mencari-cari kesalahan dan aib orang lain adalah termasuk termasuk aib dan kekurangan manusia yang paling berbahaya.

Orang yang tidak mampu mengendalikan sikap mencari-cari aneka kekurangan orang lain, pada akhirnya tidak mampu untuk menghindarkan dirinya jatuh dalam sikap menghina dan meremehkannya, karena ia tidak akan mampu untuk mengkritik aib orang lain dengan kritik yang korektif dan membangun, karena jika itu terjadi maka manusia yang ada di hadapannya pasti telah menjadi malaikat yang terpelihara, ini adalah hal yang mustahil terjadi, karenanya kritik terhadap aib orang lain itu berubah menjadi penghinaan terhadap pribadi yang dikritik.

Obat penawar bagi orang yang suka menghina adalah dengan kembali melihat dirinya dengan teliti sebagaimana ia melihat orang yang ada di luar dirinya, maka jika ia orang yang berakal dan sadar, ia pasti akan mendapati kekurangan yang mana ia menghina orang lain berdasar kekurangan tersebut, kemudian ia berusaha untuk selalu memperbaiki kekurangan itu, seandainya ia tidak memilki kemampuan untuk menghilangkan dan membersihkan aib dan kekurangan itu, maka hendaklah ia tahu bahwa itu adalah Sunnatullah di alam semesta ini, manusia tidak pernah lepas dari kekurangan dan itu adalah tabiatnya, sehingga dengan kesadaran ini ia akan bersikap rendah hati terhadap yang lain, ia berusaha untuk menutup mata ketika melihat kekurangan itu ada menggantung dalam diri seseorang.

Namun bukan berarti syariat Islam membiarkan kita diam dan rela terhadap penyimpangan sebagian kita, justru syariat ini mengajak kita dengan dua potensi positif dan negatif itu agar saling bekerjasama dalam memperbaiki segala hal dan saling menyokong agar sampai kepada derajat kesempurnaan semaksimal mungkin. Sangat berbeda antara kritik membangun yang didasarkan pada unsur saling kerjasama dan nasehat-menasehati, dengan sikap menghina yang berdiri di atas sikap takjub kepada diri sendiri dan iri.

Rasulullah saw mengingatkan kita : “Agama adalah nasihat.”
Dan dalam sabda yang lain : “Adalah sebuah keburukan yang nyata, apabila seorang muslim menghina saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)